Alana Putra Maramis
8 min readNov 14, 2021

Yuni: Gemini yang Melawan Patriarki

ALERTA ALERTA!1!1!1
*tulisan ini mengandung major spoiler
*saya menonton Yuni versi festival sebulan lalu; berbeda dengan theatrical version yang durasinya lebih panjang

Sutradara Kamila Andini menghadiahi Indonesia dengan prestasi buah hatinya, Yuni (2021), yang tercatat sebagai film Asia Tenggara pertama yang berhasil menenteng pulang platform prize di Toronto International Film Festival (TIFF).

Alangkah indahnya fakta bahwa Yuni, nyatanya juga berperan sebagai j’accuse bagi Indonesia: negeri yang tanahnya masih dikuasai singgasana patriarki yang senantiasa lestari baik pada tingkat kultural maupun sosial. Saking lestarinya, seorang perempuan yang sejak berumur 16 tahun telah bertekad untuk hidup selibat atas kemarahannya terhadap praktik poligami dan di kemudian hari menjadi ikon emansipasi, pun, pada akhirnya harus tunduk menelan kekalahan pada nilai-nilai yang sebelumnya ia tentang dengan kebersediaannya untuk dipoligami.

Namanya adalah R.A Kartini.

Sama seperti Kartini, Yuni (Arawinda Kirana) juga tak kuasa berjibaku dengan sistem sosial yang ada. Bedanya, Kartini merupakan golongan aristokrat sedang Yuni bukan; ia hanyalah gadis kampung yang duduk di bangku akhir SMA, terkenal cerdas tapi rebel, dan punya obsesi terhadap benda berwarna ungu sampai menjadikannya klepto. Jika Kartini memperjuangkan hak secara kolektif, perjuangan Yuni cenderung berada di ranah personal: ia memperjuangkan masa depan (dan mimpinya) dari batu sandungan bernama pernikahan dini.

Masalah ini bersifat perennial dan Kamila Andini membumikannya ke dalam realitas masyarakat akar rumput di wilayah perkampungan di Banten yang masih terikat dengan tradisi, mitos, budaya, dan waham kolot sebagai perangkat-perangkat yang senantiasa mengatur kehidupan bermasyarakatnya.

Babak pertama dimulai, kita langsung disuguhkan bagaimana sepulangnya sekolah, Yuni harus menyaksikan ruang privatnya diinvasi oleh kehadiran pendatang, yakni keluarga Iman (Muhammad Khan) yang petantang-petenteng menduduki ruang tamunya dengan niat untuk melamar Yuni. Sang nenek (Nazla Thoyib) yang menggantikan peran kedua orang tua Yuni yang bekerja ke Jakarta lantas memberikannya sebuah wejangan bahwa, “Pernikahan adalah sebuah berkah, dan tak semestinya kita menolak berkah”.

Wejangan itu tentu tidak turun bagai wangsit. Ia dibentuk melalui kultur dan tradisi lokal yang telah lama berkembangbiak dan diamini bersama: dari agama yang dianut oleh keluarga Yuni dan masyarakat sekitar yang meyakini bahwa pernikahan dini dapat menjadi solusi untuk menghindari perbuatan "zina"; dari tuntutan ekonomi yang mengharuskan seorang gadis menikahi lelaki yang mapan atas dasar economic proposition (ia bukan Kartini yang born with a silver spoon); dari mitos pamali bila menolak lamaran laki-laki untuk kesekian kalinya; dan dalam beberapa kasus, pernikahan dini bertalian erat dengan praktik poligami yang dilakukan kaum bapak.

Tapi oh, Yuni dengan gemini szn dan sifat rebel-nya tampak acuh terhadap wejangan sang nenek. Pada hari-hari berikutnya, ia bertemu dengan Iman, berhadapan dengannya, dan kata-kata yang langsung terlontar dari mulut Yuni adalah, “Aku gak mau kawin sama kamu!”. Ucapan itu terdengar begitu tandas sebagai bentuk penolakan. Di titik ini kita paham bahwa sekalipun Yuni menetap di lingkungan yang tak memihak kepadanya, ia tetaplah sesosok yang berdaya dan memegang kendali penuh atas haknya—female gaze Kamila Andini bermain di sini: dengan menegosiasikan posisi tawar Yuni di tengah belenggu masyarakat patriarkal alih-alih hanya memotretnya sebagai 'perempuan tertindas' yang serba tak berdaya ala narasi victimhood.

Keserbaberdayaan Yuni di tengah kondisi sosiokultural yang mengukungnya semakin ditegaskan manakala ruang privatnya kembali diinvasi untuk kedua kalinya dengan alasan yang sama. Kali ini oleh Mang Dodi (Toto ST Radik) yang ditemani sang istri, berniat untuk meminang Yuni sebagai istri keduanya. Si Mang Dodi ini telah menyiapkan sejumlah mahar bahkan. Tapi Yuni, untuk kedua kalinya menunjukkan keberdayaannya dengan menolak ajakan lamaran tersebut dan mengembalikkan tuntas mahar yang baru saja Mang Dodi berikan—hal yang tak lazim mengingat konon, menurut kepercayaan masyarakat setempat, menolak lamaran dua kali adalah pamali, sama saja dengan mengundang musibah. Maka bila kita mengikuti narasi mitos ini, jelas jalan selanjutnya yang akan dilalui Yuni merupakan sebuah malapetaka.

Coming of Age Bertabur Wacana

Premis perempuan tangguh meski sayang sekali yang mulia hidupnya ditindas patriarki sudah jadi topik yang berkali-kali diulas oleh filmmaker lokal. Lazimnya penyajian mereka juga dapat terbaca dalam dua arah: antara mengeksploitasi kenestapaan subjeknya untuk membuat penonton simpati, atau mengajak penonton untuk berasimilasi (melebur) dengan kehidupan subjeknya.

Yuni adalah jenis film kedua. Sebuah coming of age yang mengajak kita melebur pada keseharian karakter Yuni sebagai pusatnya sebelum malapetaka mendatanginya; ia ikut seni bela diri; optimis akan kesempatan beasiswa yang ditawarkan Bu Lies (Marissa Anita) di sela-sela momen 'konseling’; jadi dedengkot dalam geng-nya; senang bersenda gurau bersama kawan-kawannya tentang Pak Damar (Dimas Aditya), guru Bahasa Indonesia yang ia taksir; bertualang bersama adik kelasnya, Yoga (Kevin Ardilova), yang diam-diam menaksirnya; melancong dan berfoya-foya bersama Suci (Asmara Abigail), pekerja salon di pasar yang menjanda untuk lepas dari KDRT; hingga menyelami sajak-sajak puisi Sapardi Djoko Damono.

Printilan-printilan tersebut melibatkan kita dalam memasuki kehidupan Yuni secara personal sekaligus mengantarkan berbagai wacana yang berjalan harmonis ke dalam satu gerbong. Lihat lingkungan sekolah, oh, ada wujud kontrol atas seksualitas perempuan berupa tes keperawanan! Belok kanan ke pasar, main sejenak sama Suci, oh, dia korban KDRT akibat tak kunjung mempunyai keturunan! Lanjut jalan ke kiri, nongki sama geng-nya, oh, salah satu kawan sekelasnya, Sarah, dijodohkan oleh orang tuanya akibat sebuah fitnah!

Belum lagi si aki-aki Mang Dodi yang malah genit kepada Yuni ketika melihat wujudnya yang telah beranjak dewasa, hingga kebelet untuk menjadikannya sebagai istri ke-2. Tentu saja Yuni tak mau kawin dulu, apalagi dimadu. Lagipula, ia kudu tetap fokus untuk mengejar masa depannya dalam mendapatkan beasiswa—yang syaratnya mesti belum kawin. Karena segan, Yuni menolak Mang Dodi dengan mengatakan bahwa, “Aku sudah gak perawan” (karena sesaat sebelumnya ia memang ML dengan si Yoga). Reaksi yang langsung terucap oleh warga di lingkungan agamis seperti itu tentulah “Astagfirullahaladzim...”, meski rupanya, ada twist di penghujung kalimat berupa, “...kamu diperkosa?”.

Lingkungan konservatif-agamis seperti demikian ternyata lebih memaklumkan rape culture ketimbang hubungan konsensual di luar nikah! Tindakan ini dinormalisasi karena payung hukum yang memble sementara hubungan seks di luar nikah (sekalipun berlandaskan consent) dianggap sebagai sebuah aib atas beban dosa™ (saya bahkan pernah denger di beberapa daerah di Banten kalau kegep si laki kontinya bakal diamplas—entah bener apa enggak).

Sesudah menolak lamaran Mang Dodi, hidup Yuni seketika berantakan, dihantui mitos pamali bila menolak lamaran laki-laki untuk kedua kalinya. Saat Yuni menginjakkan kaki di sekolah, program beasiswa yang jadi impiannya juga tiba-tiba dihentikan (CMIIW, ingatan saya samar antara di-stop atau dikurangi jumlah kuotanya), dan ia hanya bisa menguping di balik pintu—sesuatu yang juga dilakukannya ketika Mang Dodi menginvasi ruang privatnya dalam rangka melamarnya.

Lamaran Mang Dodi dan dihentikannya program beasiswa (seusai Yuni menolak lamaran Mang Dodi) adalah dua momen yang jadi awal-mula petaka, suatu turning-point yang memukul mundur langkah Yuni untuk mengejar impiannya. Keduanya pun memiliki syot yang nyaris serupa: kamera bekerjasama dengan pintu yang setengah menutup untuk menyorot figur laki-laki, sementara figur perempuan dipisahkan dari frame yang sama (terhalang oleh pintu yang setengah menutup ataupun berposisi membelakangi kamera). Cara kerja kamera seperti demikian memberi kesan kuat bahwa Kamila selaku sutradara sedang ‘membingkai’ figur laki-laki sebagai katalisator dari malapetaka yang menimpa Yuni: yang satu bertautan dengan mitos pamali, sementara satunya lagi melengserkan impiannya di sekolah.

Narasi Kekalahan Perempuan

Tak selang berapa lama, Bu Lies, salah satu figur yang Yuni hormati dan membimbingnya untuk program beasiswa juga mengundurkan diri. Dampak dari mitos pamali itu kian terasa manakala Yuni tak sengaja memergoki guru yang selama ini ia taksir, Pak Damar, sedang berdandan layaknya perempuan di sebuah kios di pasar. Ternyata ia crossdresser! Hal yang sangat tabu bagi lingkungannya. Pak Damar mengetahui itu, dan berusaha membungkam Yuni dengan mengunjungi rumahnya untuk melayangkan sebuah lamaran—yang mana lebih seperti sebuah ancaman. Guru yang awalnya tampak manis dan dikagumi olehnya itu kemudian memperlihatkan sisi monsterial dalam dirinya.

Biar bagaimana, Yuni tetap berani mendaratkan penolakan; dengan mengajak Pak Damar bicara empat mata di sudut-sudut sekolahan. Namun, Pak Damar sukses membuat Yuni iba, “Tolong selamatkan saya”, ucapnya, mengacu pada orientasi seksualnya yang berupaya ia tutupi dan kebahagiaan sang ibu yang menghendakinya untuk segera menikah. Yuni yang sudah nothing to lose sontak mengiyakan permintaannya.

Lalu, sama seperti Kartini, dong? Narasi kekalahan perempuan dalam Yuni pada akhirnya tunduk lewat ritus pernikahan? Oh, tidak. pada Hari H, di tengah hujan deras yang melanda kampungnya, Yuni kabur dari rumah dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya! Ia hanya meninggalkan sepucuk puisi kepada Pak Damar dan Yoga; dua laki-laki yang sangat dekat dengannya—menarik juga bahwa sepanjang film, dua laki-laki yang mempunyai peran vital ini tergolong laki-laki ‘feminin’.

Pak Damar sebagai laki-laki yang juga merupakan ‘korban’ patriarki dan harus mengikuti tuntutan maskulinitas dari sistem sosial di kampung pun kemudian dapat terbebas dari kecurigaan orang-orang sekitarnya, karena at least, ia sudah ingin menikahi seorang perempuan (Yuni), dan ia bisa berdalih sesuka hati bahwa mempelainya telah kabur dan bunuh diri. Atas kekalahannya, Yuni secara tak langsung justru menjadi pahlawan bagi Pak Damar.

Dari sini, kita tiba pada kesimpulan bahwa Pak Damar memandang Yuni sebatas sebagai mediator. Kedudukan perempuan sepertinya hanyalah berharga selama ia mempunyai value atau menguntungkan laki-laki seperti Pak Damar yang berusaha menarik kesan dari lingkungannya.

Laki-laki membentuk sebuah relasi terhadap dunianya dengan menggunakan perempuan dan aktivitasnya sebagai mediator antara laki-laki dan laki-laki, laki-laki dan alam, dan laki-laki dan roh. Laki-laki rupanya mengonstruksi sebuah dunia untuk hidup bersama bagi laki-laki dan perempuan dengan melihat perempuan sebagai mediator dan itu berarti perempuan menjadi “yang lain” bagi laki-laki. — E.K Sunur (2006)

Suram memang, namun fatalisme yang ditawarkan Kamila Andini ini bukan hanya realistis, tetapi juga kian mengesankan karakter Yuni sebagai sosok yang subversif di tengah sistem sosial yang mengukungnya: belum tentu menang, yang penting sudi melawan. Bagi Kamila, pilihan Yuni untuk mengakhiri hidupnya merupakan opsi yang lebih terhormat dibanding, katakanlah, kabur dari kampungnya atau menerima pernikahan yang tak dikehendakinya dan menjadi konco wingking selamanya.

Alana Putra Maramis
Alana Putra Maramis

Written by Alana Putra Maramis

I write knowing I can be killed by my own words, stabbed by syntax, crucified by understanding and misunderstanding.

No responses yet